Top News

DAKWAH LEWAT PARTAI POLITIK, MUNGKINKAH?


Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah di Turki tahun 1924 yang lalu, selalu ada keinginan untuk mengembalikan ustadziyyatul ‘alam bagi umat Islam. Meski belum kesampaian, namun hingga hari ini telah begitu banyak kekuatan internal umat Islam yang tanpa henti terus memperjuangkannya. Namun pada tataran teknis dan implementasi, ternyata berkembang dua pilihan pendekatan, dan memang selalu jadi ajang perdebatan panjang di kalangan aktifis dakwah sepanjang abad 20 dan 21 ini.

Pilihan pertama, kita sebut saja dengan istilah perjuangan outside, yaitu prinsipnya dirikan negara Islam dari luar sistem negara yang jelas-jelas sudah tidak mengakui syariah. Pilihan kedua, kita sebut saja perjuangan inside, dengan cara melakukan penetrasi secara internal ke dalam sistem negara sekuler dan biarkan perbaikan datang dari dalam (inside fighting).

Yang menarik, kedua thesis dan anti-tthesis ini sudah pernah dicobakan secara real di dunia Islam.

1. Metode Outside

Sebagai contoh untuk pilihan pertama, kita boleh ambil kasus Pakistan. Sejarah berdirinya pakistan adalah sebuah negara yang memisahkan diri dari India. Adalah Abul A’la Al-Maududi dan penyair muslim Iqbal yang sering disebut-sebut sebagai arsitek di belakang bangunan Pakistan. Sejarah Pakistan berawal pada tahun 1940, dimana pemimpin Liga Muslim saat itu, Muhammad Ali Jinnah, menginginkan setelah hengkangnya Inggris, negara itu harus dibagi dua. Dan keduanya terpisah pada tgl 15 Agustus 1947.

Dalam konstitusi fromal negara itu tercantum dasar filosofi tentang kedaulatan Allah atas alam semesta dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Beberapa bentuk hukum Islam sudah pernah berjalan di Pakistan. Namun kekuatan sekuler di negara itu ternyata berjalan berbeda arah dari awal mula tujuan didirikannya Paksitan. Ali Jinnah yang jadi Presiden di negara itu kemudian berseberangan paham dengan ulama kharismatik Abul A’la Al-Maududi.

Seiring berjalannya waktu, tarik menarik antara aliran yang ingin Pakistan menjadi negara Islam dan yang ingin menjadikannya negara sekuler semakin seru. Bahkan sampai ke ranah kudeta berulang kali, yang lebih sering dilakukan dengan kekerasan. Kalau perlu dengan menembak mati atau mengebom lawan politik. Maka negeri itu seolah tidak pernah berhenti dari pergolakan politik.

Presiden Muhammad Dhia’ul Haq (Zia ul haq) pernah memerintah negeri itu dengan sistem Islam yang penuh, kemudian dibom mati oleh lawan politiknya. Sebelum masa Dhia’ul Haq, Ali Bhuto yang mewakili kalangan sekuler sempat dihukum gantung oleh lawan politiknya. Dan puterinya, Benazir Bhuto, yang kemudian sempat menjadi penguasa tertinggi, matinya pun dengan kekerasan.

Langsung atau tidak langsung, ketidak-amanan dalam negeri Pakistan ikut mempengaruhi kekuatan internal negeri itu. Pakistan boleh dibilang mengalami keterlambatan pembangunan, juga dilanda lemahnya sistim pendidikan, ekonominya pun kurang membahagiakan, bahkan negeri itu tetap masih didera berbagai serangan terorisme dari berbagai kepentingan. Bahkan sempat juga negeri yang diimpikan para ulama itu malah punya presiden perempuan, sesuatu yang umumnya dianggap tidak sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

Kegagalan Pakistan dalam mewujudkan negara Islam impian yang dijalankan berdasarkan syariat Islam, seringkali dijadikan alasan untuk tidak memilih metode perjuangan lewat outside. Bahkan oleh kalangan sekuleris, kasus Pakistan sering dijadikan alasan untuk tidak mendirikan negara Islam.

2. Metode Inside

Sebagai contoh untuk pilihan kedua, barangkali kasus partai Islam FIS di Al-Jazair bisa kita jadikan penelitian. Juga kasus Partai Refah di Turki.

2.1. Kasus FIS di Aljazair

FIS (Front Islamique du Salut/) atau Front Keselamatan Islam berdiri tahun 1989 sebagai parpol Islam yang berhasil menarik simpati masyarakat muslim Aljazair. Pada pemilu putaran pertama 20 Juni 1991, FIS memenangkan 54% suara dan mendapat 188 (81%) kursi di parlemen. Dan pada pemilu putaran kedua Desember 1991, FIS menang besar.

Kemenangan FIS pada pemilu putaran I dan II menunjukkan sempat membuktikan thesis bahwa perjuangan lewat penetrasi dakwah internal di sebuah negara sekuler bisa berhasil. Ini berbeda dengan apa yang terjadi sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, dimana partai Islam (berlabel Islam) belum pernah sekali pun memenangkan pemilu. Baik sejak zaman Masyumi di tahun 50-an, atau pun di zaman PPP di era rezim Soeharto, bahkan juga tidak di era reformasi.

Kemenangan FIS sudah pernah membuktikan bahwa partai Islam bisa memenangkan suara dan menang mutlak. Hanya saja sayangnya, kemenangan itu tidak berlangsung lama. Saat itu pihak musuh Islam yang diwakili kalangan militer tidak rela jika sebuah parpol Islam memimpin sebuah negara Islam Kemudian penguasa militer membubarkan parlemen Aljazair dan membatalkan hasil pemilu. Lalu militer melalui Mohammed Boudiaf mendirikan Dewan Tinggi Negara yang menjalankan pemerintahan sementara dan menyatakan Aljazair dalam keadaan darurat. Dewan Tinggi Negara ini menjadi penguasa baru Aljazair.

Pengadilan yang direkayasa kemudian memberangus FIS dan menjadikannya sebagai parpol terlarang, ribuan orang baik anggota maupun pendukungnya ditangkap, dipenjara, dan sebagian lainnya ditindas, dianiaya, hingga dibunuh. Pemimpin FIS Abassi Madani dan Ali Belhadj dipenjarakan.

Atas ‘kegagalan’ itu, sebagian kalangan yang tidak mendukung pola perjuangan dari dalam (inside), malah mensyukurinya. Setidaknya itu tercermin dari fatwa-fatwa kalangan salafiyyin, semisal Syeikh Albani.

2.2. Kasus Refah di Turki

Pada Desember 1995, REFAH memenangkan pemilu di Turki yang berpenduduk 57,2 juta muslim. Kemenangan Refah mengantarkan Nechmetin Erbakan menjadi Perdana Menteri di negeri pusat sekulerisme dunia itu.

Sayangnya usia kemenangan Refah tidak berumur panjang. Juni 1997, Erbakan digulingkan lewat ‘kudeta konstitusional’ oleh kekuatan sekuler yang ternyata masih punya kekuatan. Kasus kegagalan Refah sebagai partai Islam untuk bisa langgeng memimpin kekuasaan di Turki kemudian oleh sebagian kalangan dijakdikan dasar bahwa cara penetrasi lewat sistem sekuler adalah pilihan yang selalu sukses.

Kesimpulan

Dalam pandangan saya pribadi, kedua pendekatan itu sebenarnya sama-sama bisa dilakukan. Tetapi semua kembali kepada kondisi yang ada di masing-masing negara. Ada kalanya pendekatan dengan pola pertama lebih memungkinkan untuk dilakukan, maka lakukanlah pendekatan seperti itu. Tetapi terkadang pendekatan gaya kedua di negeri yang lain lagi ternyata jauh lebih efektif, maka lakukanlah gaya yang kedua.

Dan menurut hemat saya, mungkin saja terjadi saling kerjasama antara kedua pendekatan itu. Tidak harus keduanya saling menjelekkan atau saling melemahkan satu dengan lainnya. Yang penting tiap-tiap aktifis melakukan pendekatan masing-masing dengan ikhlas, tanpa harus mencaci-maki saudara-saudara mereka yang barangkali agak berbeda pendekatannya. Siapa tahu pendapat saudara kita itu benar, dan belum tentu pendapat kita pribadi selalu salah.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Post a Comment

Asalamualaikum, wr, wb
Siapa aja bisa beri komentar asal isinya positif dan tidak ada unsur maksiatnya.

Previous Post Next Post